#ServiceAttitude 4.0
by Budiman Wiriakusumah
“Sebagai anak yang pendiam dengan penampilan kurus, dari Keluarga yang sederhana sering di-abaikan oleh teman-teman sewaktu masih duudk di sekolah dasar, malah kadang menjadi sasaran bullying. Namun itu semua menjadi cambuk, pemacu mencapai cita-cita yang di inginkan sejak kecil”
Ada jamannya singkong dianggap sebagai makanan murah, salah satu jenis makanan yang hanya dilirik namun tidak disentuh, diremehkan, paling tidak dijaman saya kecil sekitar tahun 70 an yang berdomisili di Jakarta. Saya masih ingat sekali istilah “Anak Singkong” pertama kali dipopulerkan oleh Radio Prambors, radionya anak-anak menteng yng berkantor di Jl. Borobudur no. 4 Jakarta Pusat pada waktu itu bertetanggaan dengan Kediaman Bapak Gubernur Ali Sadikin, Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bapak Soedomo dan masih banyak lagi pejabat-pejabat yang beralamat di sekitar Jalan Proklamasi
.
.
Anak
Singkong pada mulanya berkonotasi negatif, ditujukan kepada anak-anak
atau kelompok anak yang biasanya orang tuanya berekonomi lemah (kurang
mampu), pendiam dan agak minder berada dilingkungan yang segalanya serba
“wah”. Jika orang lain pergi kesekolah diantar supir-supir pribadi atau
bahkan membawa mobil yang dapat dikategorikan sangat mewah, kami cukup
berjalan kaki. Jika sekolah agak jauh cukup dengan naik delman (saya
masih merasakan), becak, bemo ataupun bis kota. Tadinya saya merasa
sangat sendiri dan hanya saya yang mendapatkan julukan “Anak Singkong”,
namun dalam perjalan saya melihat ada beberapa teman yang kondisinya
sama seperti itu paling tidak menurut penglihatan mata anak singkong.
Bermula
dari obrolan sepanjang jalan menuju sekolah, hari demi hari kami jadi
berteman dan setelah saya hitung-hitung jumlahnya juga tidak sedikit,
bahkan terus bertambah. Rasa kesendirian itupun pupus bersamaan dengan
hilangnya rasa minder dan timbulnya mimpi-mimpi indah untuk balas dendam
terhadap keadaan kami saat itu. Dendam yang positif? karena melahirkan
usaha-usaha dari masing masing untuk keluar dari julukan anak singkong,
dari kelompok anak yang tidak dipandang menjadi anak yang berprestasi,
ingin berbuat sesuatu untuk mematahkan mata rantai kemiskinan. Kami
tidak malu lagi dengan kerja keras orang tua kami yang kadang rela
dengan berjualan nasi bungkus untuk kami mendapatkan pendidikan yang
baik.
Menginjak
tingkat SMA kembali kami dihadapi problem yang sama, sehingga
terkumpulah sekitar 5-8 sahabat yang mempunyai mimpi yg sama, kami mulai
dengan memikirkan jalan terobosan-terobosan untuk mendapatkan
pendidikan ++ tanpa mengeluarkan biaya tambahan yang berarti. Saat itu
baru muncul tempat kursus bahasa Inggris LIA, saya ingat sekali lokasinya disekitar jalan Pramuka-Jakarta. Kami rela berangkat setelah
shalat Subuh hanya untuk mengantri mendapatkan formulir pendaftaran,
dengan harapan apabila lolos seleksi akan mendapatkan keringanan biaya
kursus, akhirnya hanya 2 orang yang dapat mencicipi kurusus ditempat
itu, namun kami tidak kehilangan akal teman yang dua orang itu
berkewajiban untuk “share” ilmu yang didapatkannya itu ke teman yang
lain.
Hari
demi hari terus berjalan, sejalan juga dengan membaiknya ekonomi
Keluarga masing-masing, akhirnya kamipun mempunyai mimpi yang lebih
tinggi lagi, tidak tanggung-tanggung mimpinya untuk dapat mencicipi
pendidikan di luar Indonesia dan negara yang menjadi mimpi kami adalah
USA. Meskipun untuk saya pribadi mimpi saya itu sangat-sangat sulit
untuk diwujudkan namun tidak ada isitilah putus asa didalam jiwa “Anak
Singkong” dimana ada usaha Allah selalu dan selalu menunjukan kasih
sayangnya melalui jalan jalan yang telah ditentukan.
Bertemulah saya dengan dua orang hebat Ibu Pia Alisjahbana (sebenarnya saya juga pernah dibimbing oleh Bpk.
Mario Alisjahbana pada saat masuk di SMA) dan Alm. Bapak Sarlito
Wirawan yang sering mengadakan diskusi dengan murid2 SMA di Jakarta
melalui Majalah “Gadis/Femina”, masing2 kelompok diwajibkan untuk
menentukan thema diskusi yang di-inginkan, anehnya lagi merka memilih
judul yang idenya dari saya, timbul pada saat-saat saya berjalan kaki
menuju sekolah melihat Ibu-Ibu yang berjualan nasi dan yang makanpun
silih berganti, ada tukang becak, ada pedagang sayur, ada anak2 yang
disuruhnya orang tuanya untuk beli nasi, setiap saat saya mengamati Ibu
penjual nasi, saat dia berhadapan dengan tukang becak; Beliau
menggunakan bahasa dan tema pembicaaan yg hanya dapat dimengerti oleh
lawan bicara, pada saat anak-anak datang, Beliau bicara dengan pelajaran
sekolah si anak sambil tangannya sigap membungkus nasi-nasi pesanan
pembeli.....
Saya kagum sekali dengan ibu penjulan nasi itu, sehingga timbul pemikiran saya ..itulah
kontribusi Ibu penjual nasi untuk ikut serta dalam pembangunan sosial
di lingkungannya, sehingga majalah wanita tersohor di era 70-80 an itu
tertarik dengan idee tersebut sehingga saya diberikan kesempatan
berbicara didepan teman-teman SMA dan bahkan tokoh-tokoh wanita yang
diundang. Alm. Dr. Sarlito sangat tertarik, beliau ingin mengetahui kok
timbul pemikirin seperti itu di usia saya yang masih 17 tahun......
setelah beberapa session pembicaraan dengan beliau akhirnya Almarhum
menyimpulkan bahwa saya mengambil contoh soal yang tidak jauh-jauh, Ibu
saya sendri, saya sangat kagum terhadap Kedua Orang Tua saya, dengan
segala usaha dan kemampuannya Beliau-beliau berusaha/berupaya supaya
anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik ....... sehingga
saya disarankan untuk segera masuk ke Fakultas Psikologi untuk
kelanjutan sekolah saya.
Namun Allah menentukan lain, dan sayapun harus mengambil keputusan lain pada saat itu segera saya konsultasikan dengan Ibu Pia dan Dr. Sarlito, dan Bung Bens, akhirnya saya melanjutkan ditempat lain, kami berkeyakinan bahwa pendiikan tidak hanya kita dapat melalui jalur formal namun apabila kita ingin, kita akan lebih banyak lagi mendapatkan ilmu-ilmu tambahan yang akhirnya mendapatkan gelar “imajiner” pada saat kita menjalankan hidup ini dengan berusaha menggunakan potensi yang diberikan Allah sebaik mungkin, rasa optimis namun tetap berkeyakinan Allah lah yang memutuskan .....
Saat
ini saya dikunjungi sahabat saya dari grup anak singkong yang
bersama-sama kami membuka Yayasan Pendidikan yang tidak melulu komersial
(saya hanya Pembina yang memberikan informasi ttg beasiswa), yang
tujuan utamanya adalah memberikan informasi tentang kesempatan
mendapatkan beasiswa di luar negeri baik untuk S1 atau S2 atau S3,
(terutama untuk cucu-cucu, cicit Anak Singkong), seminggu dua kali
mengadakan test TOEFL karena telah mendapatkan ijin khusus
menyelenggarakan test tsb, terdaftar di British Council untuk dapat
mendaftarkan peserta test IELS, kegiatan terakhir adalah juga memberikan
kursus gratis tentang pembuatan de coupage, ornament2 indah di tas-tas
traditional dan masih banyak lagi mimpi-mimpi anak singkong yang In shaa
Allah dapat diwujudkan
.
Pesan saya, jangan pernah berputus asa, ALLAH SWT , Sang Pencipta selalu memberikan jalan, tinggal kita memohon dalam doa-doa, jangan lupa mendoakan Orang Tua, Keluarga, Sahabat, Teman .... mimpi anak singkong dimulai dari antri formulir kursus setelah subuh dan sampai sekarangpun kami masih bermimpi selama Allah masih memberikan tarikan nafas, In shaa Allah akan terwujud Aamiin Aamiin YRA.