#ServiceAttitude 4.0
Oleh Budiman Wiriakusumah
"Bermain gamelan bukan hanya menabuh, namun menyadari posisi dan kedudukan masing masing didalam grup. Harus mempunyai kapasitas mendengar yang besar, memperhatikan dimana dirinya harus masuk untuk menabuh dan memberhentikan nya saat tidak diperlukan degungan. Kesadaran tentang kerjasama, gotong royong, bahwa mereka bagian dari satu kesatuan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih besar, keagungan musik yang sakral dari Alunan Gamelan."
Entah apa yang membuat saya saat itu, ber-angan angan, untuk mempromosikan Indonesia dengan menampilkan seni tari yang saya pelajari sejak kecil. Dalam bayangan saya selalu ada penampilan di depan publik Swiss mempertunjukan kemampuan saya dalam manampilkan tari Bali.
Angan-angan saya akhirnya terwujud ketika pada akhir tahun 1984 tampil didepan Perhimpunan Sabahat Swiss-Indonesia di Kota Zurich. Sebelumnya akhir tahun 1983 saya mendapatkan kepastian untuk berangkat ke negara yang menjadi idaman, sejak kecil; Switzerland.
Teman-teman yang mengenal saya, pada saat saya bermukim di Bandung, pasti mengenal kreasi tari yang saya tampilkan di tahun 80. Gerakan tari yang saya ambil dari Tari Kebyar Duduk namun dengan iringan musik Jazz dari alunan suara emas Almarhum Al-Jeareau!
Sebuah kreasi menurut saya kadang lahir tanpa ada nya niat, tiba tiba muncul, melalui kesadaran, kehadiran Jiwa, pemikiran dari sebuah perception, Contohnya ya ini, ketika saya liburan ke Jakarta untuk nengok orang tua, adik bungsu saya sedang memasang musik yang lagunya Jazz, saya tiba tiba terdiam, seakan dinamis musiknya masuk kedalam jiwa, kemudian tersambung kedalam sebuah area, unknown area yang menyatukan lagu dengan gerakan tari bali yang pernah saya pelajari, lahirnya si penari “Spain”, dan kemudian saya persembahkan untuk seorang teman dalam acara resepsi pernikahan,
Perjalan hidup di Swiss membawa saya untuk kembali berkenalan dengan alunan gamelan yang bagi saya dapat membawa kepada ketenangan jiwa. Di tahun 2008 saya berkenalan dengan Nicole Coppey, Guru/Pendidik sekolah musik: 123Musique di kota Sion yang berada di kanton Valais/Swiss berbatasan dengan Perancis & Italia, di kaki gunung Mt. Blanc.
Gamelan yang sudah saya kenal puluhan tahun yang lalu, di kelas 4 SD, saya sudah memilih Sendra Tari Jawa sebagai kegiatan ekstra di sore hari. Saya begitu kagum melihat anak anak Swiss menyanyikan lagi “Kupu Kuwi”. Kekaguman saya bertambah mengingat mereka belum pernah sama sekali berkunjung ke Indonesia.
Penampilan perdana anak-anak ini saya usahakan untuk tampil dengan kebaya dan blankon namun apa daya saat itu yang ada adalah udeng Bali, jadilah mereka tampil secara canpuran.
Banyak sudah grup-grup gamelan yang ada di luar Indonesia, terutama di Eropa. Namun kelebihan dari grup ini adalah anggota mereka berumur antara 5 s/d 26 tahun, generasi muda, masa depan Swiss. Inilah kelebihan Grup gamelan ini. Sejak kecil mereka sudah dikenalkan dengan budaya Indonesia yg rata-rata dari mereka belum mengenal Indonesia.
Anak-anak ini tidak saja memainkan alat musik tradisional dari Jawa tengah, namun yang mesti kita garis bawahii adalah mereka berkenalan dan belajar juga filosofi Jawa, filosofi tata cara bermain gamelan, belajar tentang prinsip-prinsip hidup yang diberikan nenek moyang Indonesia kepada Generasi muda setelahnya. Inilah yang membuat saya bangga, semangat dan keinginan mereka yang begitu besar untuk mengetahui kedidupan saudara-saudaranya puluhan ribu kilometer dari tempat tinggalnya.
No comments:
Post a Comment